Demokrasi
Pemilu dan Proses Demokratisasi di Indonesia
Pemilu
dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu proses pergantian kekuasaan
secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang
digariskan konstitusi. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan
konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan
rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam
setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dari
prinsip-prinsip pemilu tersebut dapat kita pahami bahwa pemilu merupakan
kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan
dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.
Sebagai
syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum
adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah
pemerintahan perwakilan (representative government).Karena
dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai
pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif.Menurut Robert Dahl, bahwa pemilihan
umum merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di
zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu
parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi
sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu system politik dimana para
pembuat keputusan kolektif tertinggi didalam system itu dipilih melalui
pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Pemilu
memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya,
maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas
elit yang lebih tinggi. Sikulasi ini akan berjalan
dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan
demokratis. Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan
sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga
sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah
pemerintahan perwakilan.
Didalam negara demokrasi, pemilihan
umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter
mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan
pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu
bentuk pemerintahan oleh rakyat. Implementasi dari
pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin
nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan
umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat.
Pemilihan
umum mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Pertama, sebagai sarana legitimasi politik.Fungsi legitimasi ini terutama
menjadi kebutuhan pemerintah dalam system politik yang mewadahi format pemilu
yang berlaku.Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan ayng berkuasa dapat
ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya.Dengan begitu,
pemerintah, berdasarkan hukum yang disepakati bersama, tidak hanya memiliki
otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan
ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Menurut Ginsberg, fungsi legitimasi
politik ini merupakan konsekuensi logis yang dimiliki oleh pemilu, yaitu untuk
mengubah suatu keterlibatan poltik massa dari yang bersifat sporadic dan dapat
membahayakan menjadi suatu sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik
nasional.
Paling
tidak ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik
bagi pemerintah yang berkuasa.Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa
meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan
rakyat.Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku
rakyat tau warganegara. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli politik
aliran fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk
meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, dan
pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi terhadapnya (Edelman, 171,
Easton, 1965, Shils 1962, Zolberg, 1966). Dan ketiga, dalam dunia modern para
pengusa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan
(coercion) untuk mempertahankan legitimasinya. Gramsci
bahkan menunjukkan bahwa kesepakatan (consent) yang diperoleh melalui hegemoni
oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana control
dan pelestarian legitimasi dan otoritasnya ketimbang penggunaan kekerasan dan
dominasi.
Terkait
dengan pentingnya pemilu dalam proses demokratisasi di suatu Negara, maka
penting untuk mewujudkan pemilu yang memang benar-benar mengarah pada
nilai-nilai demokrasi dan mendukung demokrsi itu sendiri. Pemilihan akan system
pemilu adalah salah satu yang sangat penting dalam setiap Negara demokrasi,
kebanyakan dari system pemilu yang ada sebenarnya bukan tercipta karena
dipilih, melainkan karena kondisi yang ada didalam masyarkat serta sejarah yang
mempengaruhinya.
PENGERTIAN
PEMILU
Pemilu adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk
mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini
beraneka-ragam, mulai dariPresiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat
pemerintahan, sampai kepala desa. Padakonteks yang lebih luas, Pemilu dapat
juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan sepertiketua OSIS atau ketua kelas,
walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih seringdigunakan.Sistem pemilu
digunakan adalah asas luber dan jurdil. Dalam Pemilu, para pemilih dalam
Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta
Pemilumenawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye.
Kampanyedilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari
pemungutan suara.Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan
dimulai. Pemenang Pemilu ditentukanoleh aturan main atau sistem penentuan
pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dandisetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih.ASAS PELAKSANAAN PEMILUwaktu
pelaksanaan, dan tujuan pemilihan diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat
(2)UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 22E ayat (6) yang mengatur tentang
ketentuan pemberian delegasi pengaturan tentang pemilihan umum dengan
undang-undang.Asas Pemilu Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia. Karena itu, asas
jujur dan adil iniseharusnya dijunjung tinggi oleh aparat pemerintah, termasuk
aparat Polri yang dalam pemilu harus bertindak netral dan tidak
memihak.''Penyimpangan terhadap asas ini yangdilakukan oleh aparat pemerintah termasuk
aparat Polri akan mengakibatkan timbulnyakeraguan masyarakat terhadap kemurnian
hasil pemilu,'' katanya.Dia mengatakan, berdasarkan kajian panwas, pelanggaran
terhadap asas pemilu padahakikatnya adalah penyimpangan yang lebih serius
daripada penyimpangan administratif dan pidana.
Pelanggaran ini bisa disebut sebagai pelanggaran pemilu.Karena itu,
panwasmerekomendasikan kepada Polri untuk menerima dengan baik hasil
klarifikasi dan pengkajian kasus VCD yang dilakuan panwas.Selanjutnya
mengambil tindakan yangtepat terhadap aparatnya yang melanggar asas pemilu.
Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia
Sistem
pemilihan umum adalah merupakan salah satu instrumen kelembagaan penting
di dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di tandai dengan 3 (tiga) syarat yakni
: adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, adanya
partisipasi masyarakat, adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. Untuk
memenuhi persyaratan tersebut diadakanlah sistem pemilihan umum,
dengan sistem ini kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak politik bisa
terpenuhi dan dapat dilihat. Secara sederhana sistem politik berarti instrumen
untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang
di menangkan oleh partai atau calon. Sistem pemilu di bagi menjadi dua kelompok
yakni :
1.
sistem distrik ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil )
didalanm
sistem distrik satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas dasar suara
terbanyak, sistem distrik memiliki variasi, yakni :
- firs past the post : sistem yang menggunakan single memberdistrict dan
pemilihan yang berpusat pada calon, pemenagnya adalah calon yang memiliki
suara terbanyak.
- the two round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai
landasan untuk menentukan pemenang pemilu. hal ini dilakukan untuk
menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.
- the alternative vote : sama seperti firs past the post bedanya para
pemilih diberi otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan
ranking terhadap calon-calon yang ada.
- block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih
calon-calon yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai
dari calon-calon yang ada.
2.
sistem proporsional ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
dalam
sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil. prinsip utama di dalam
sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara di dalam pemilu oleh peserta
pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan secara proporsional, sistem
ini menggunakan sistem multimember districts. ada dua macam sitem di
dalam sitem proporsional, yakni ;
- list proportional
representation : disini partai-partai peserta
pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih
partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
- the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan
preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kuota.
perbedaan
pokok antara sistem distrik dan proporsional adalah bahwa cara menghitung
perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam
parlemen bagi masing-masing partai politik.
Di
Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak kemerdekaan
Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia
dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional, adanya usulan
sistem pemilihan umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan, ternyata di
tolak. Pemilu-pemilu paska Soeharto tetap menggunakan sistem proporsional dengan
alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai sistem yang lebih pas untuk
Indonesia.Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan masyarakat di Indonesia
yang cukup besar. Terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik di pakai akan
banyak kelompok-kelompok yang tidak terwakili khususnya kelompok kecil.
Disamping itu sistem pemilu merupakan bagian dari apa yang terdapat dalam UU
Pemilu 1999 yang di putuskan oleh para wakil yang duduk di DPR. Para wakil
tersebut berpandangan bahwa sistem proporsional itu lebih menguntungkan dari
pada sistem distrik. Sistem proporsional tetap dipilih menjadi sistem pemilihan
umum di Indonesia bisa jadi sistem ini yang akan terus di pakai. hal ini tak
lepas dari realitas yang pernah terjadi di negara-negara lain bahwa mengubah
sistem pemilu itu merupakan sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat
memungkinkan jika terdapat perubahan politik yang radikal. Di Indonesia sendiri
sistem Proporsional telah mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan
proporsional tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan
sistem proporsional daftar terbuka.
Pasca
pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat perubahan terhadap
sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi sistem proporsional di
indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka.
Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara pemilu 1999 dengan masa
orde baru. pada orde baru yang menjadi daerah pilihan adalah provinsi, alokasi
kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di dalam satu provinsi,
sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai daerah pilihan namun sudah
menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari partai peserta
pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-masing provinsi tetapi
mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-masing kabupaten /kota. Pada
pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi melainkan daerah yang lebih
kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang mencangkup satu provinsi
seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, kepulauan Riau, Yogyakarta,
Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara dan Tenggara,
Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat. masing-masing
daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada pemilu 2009 besaran
daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10. Perbedaan lain berkaitan
dengan pilihan terhadap kontestan. pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih
cukup memilih tanda gambar kontestan pemilu. pada tahun 2004 para pemilih boleh
mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos calonnya. hal ini
dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan menetukan siapa yang menjadi wakil
di DPR dan memberikan kesempatan pada calon yang tidak berda di nomor atas
untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP),
dikatakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan siapa
yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan
para perolehan suara tebanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalupun
di luar nomer urut harus memiliki suara yang mencukupi BPP.
Sistem
proporsional semi daftar terbuka sendiri pada dasarny merupakan hasil sebuah
kompromi.dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu pada 2002, PDIP, GOLKAR,
PPP terang-terangan menolak sistem daftar terbuka, dikarenakan penetuan caleg
merupakan hak partai peserta pemilu. memang jika diberlakukannya sistem daftar
terbuka akan mengurangi otoritas partai di dalam menyeleksi caleg mana saja
yang di pandang lebih pas duduk di DPR/D. tetapi tiga partai itu akhirnya
menyetujui perubahan hanya saja perubahannya tidak terbuka secara bebas
melainkan setengah terbuka. perubahan-perubahan disain kelembagaan seperti itu
pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang berarti. ada beberapa penyebab
diantaranya yaitu : pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka memilih
tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan memilih calon yang ada di
dalam daftar pemilih karena lebih mudah. selain itu, di lihat dari tingkat
keterwakilan masih mengandung masalah. permasalahan ini khususnya berkaitan
dengan perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR/D kepada
partai-partai. di sisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu
dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan. mengingat sistem. hal ini
terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan
adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara
kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3
kursi. implikasinya adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di
bawah rata-rata BPP nasional tetapi ada juga yang berada dia atas BPP
nasional.
Memingat
sistem pemilu yang sudah di modifikasi dan mengalami sedikit perbaikan itu
masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat usul untuk melakukan modifikasi
sistem proporsional lanjutan.kalau pada pemilu 2004 sudah dipakai sistem daftar
setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu selanjutnya usulan digunakannya sistem
daftar terbuka. di dalam sistem ini digunakan nomor urut di dalam daftar calon
tidak lagi dijadikan ukuran untuk menjadikan calon mana yang mewakili partai di
dalam perolehan kursi sekitarnya tidak ada calon yang memenuhi BPP yang di
jadikan ukuranya adalah calon yag memperoleh suara terbanyak. Presiden SBY
termasuk yang pernah mengusulkan sistem demikian sebagaimana dijelaskan oleh
Andi sistem ini baik untuk partai karena semua calon akan berkerja keras untuk
partainya. rakyat juga mendapatkan pilihan yang jelas. sebab siapa yang
paling banyak mendapat sura akan masuk ke parlemen tanpa memakai nomer urut
yang keriterianya tidak sering jelas dan menjadi sumber politik uang. sistem
ini juga mendapat dukunagn dari PAN akan tetapi PDIP menolak, sebagimana
dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan menghapuskan nomer urut itu justru
membuka peluang money politics dan dianggap mendeligitimasi keberadaan
partai, demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR) menurutnya sistem terbuka tanpa
nomer urut dapat di lakukan secara teoritis tapi sulit praktiknya. perdebatan
smacam itu telah di selesaikan di dadal UU pemilu No 10 tahun 2008. UU ini
merupakan aturan dasar untuk pemilu 2009 di dalam UU ini memang disebutkan
bahwa pada pemilu 1999 Indonesia menganut sistem daftar terbuka. tetapi
kenyataanya Indonesia masih menganut sistem semi daftar terbuka. hal ini tidak
terlepas dari aturan bahwa calon yang memperoleh suara terbanyak di dalam suatu
partai tidak otomatis terpilih menjadi wakil. tapi yang membedakan dengan
pemilu 2004 adalah bahwa di dalam pemilu 2009 yang memperoleh suara min 30%
dari BPP memiliki kesempatan mewakili partai di dalam perolehan porsi meskipun
tidak berada di nomer urut jadi. di samping itu pemilu 2009 juga memperkuat
tuntutan pemberian kepada perempuan semua partai wajib menyertakan calon
perempuan sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3 calon harus perempuan. tetapi
aturan wajib ini tidak disertai sanksi yang jelas dan tegas manakala ada
partai-partai yang melanggarnya.
Keputusan
sebagaimana yang terdapat di dalam UU no 10 tahun 2008 mengalami perubahan
setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan tentang suara terbanyak sebagai
patokan untuk mengalokasikan kursi kepada partai-partai yang memperoleh kursi.
keputusan ini menjadikan sistem pemilu di Indonesia benar-benar masuk kedalam
kategori sistem proporsional daftar terbuka. Calon yang memperoleh suara
terbanyak yang akan lolos menjadi anggota DPR/D dari
partai yang memperoleh alokasi kursi. Akibat dari perubahan-perubahan itu,
pemilu 2009 dan bisa jadi pemilu-pemilu selanjutnya memiliki
konsekuensi-konsekuensi tersendiri.pertama, kompetisi partai semakin kuat
seiring di berlakukannya parliementary thresholdparliementary threshold adalah
dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam pemerintahan di tingkat
pusat, multipartai di dalam pemerintahan di daerah dandi pemilu. hasil pemilu
2009 menunjukan 9 partai yang mendapat kursi di DPR karena lolos parliementary
threshold dan tidak sedikit juga partai-partai yang tidak memiliki kursi di
DPR tetapi mendapat kursi di DPRD. Hal ini dikarenakan ketentuan PT hanya
berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD.Realitas ini memperkuat pandangan bahwa
aturan main di dalam sistem pemilu itu mewakili implikasi yang cukup besar pada
alokasi kursi atau perwakilan dan kekuatan-kekuatan politik yang ada.dan pengecilan
besaran Daftar pilih untuk pemilu anggota DPR. Kedua, kompitisi internal partai
semakin tinggi. Kompitisi akhir ini mencangkup kompitisi antarcalon di dalam
setiap Dapil dan antar calon laki-laki dan perempuan. Kompetisi ini
menjadi sangat tinggi setelah pengalokasian kursi menggunakan mekanisme (suara
terbanyak). Kompetisi antar partai dan antar calon di internal partai itu lebih
mengemuka lagi karena kurun waktu kampanye berlangsung lebih lama, setelah
ditetapkannya partai peserta pemilu partai dan calon bisa langsung melaksanakan
kampanye dialogis, dan sebagai konsekuensi di berlakukannya
Kelemahan
sistem politik di Indonesia
Seperti kita ketahui, hanya sistem proporsional telah
berlaku di Indonesia mulai Pemilu 1955 sampai sekarang. Dengan kata lain sistem
perwakilaan proposional adalah sistem yang ditentukan oleh proporsi kursi suatu
parpol dalam badan legislatif akan persis sama dengan proporsi suara yang
diperoleh (persentase kursi = persentase suara). Ada juga yang dkenl dengan sistem
perwakilan distrik yaitu sistem yang ditentukan atas kesatuan geografis dimana
setiap geografis/ distrik hanya memilih seorang wakil dan jumlah distrik yang
dibagi sama dengn jumlah anggota parlemen, sistem distrik lebih menekankan
kepada perwakilan teritorial dan komunitas.
Kelemahan dari sistem pemilu distrik adalah banyak suara
terbuang, kemudian kurang terakomodir suara dari masyarakat yang minoritas
serta kurangnya representatif karena calon yang kalah kehilangan suara
pendukungnya.Kemudian bagi sistem proporsional pemilih tidak mengenal siapa
yang dipilih, dan yang terpilih tersebut lebih bertanggungjawab kepada partai
bukan kepada masyarakat.Kemudian mempermudah fragmentasi dan timbulnya
partai-partai baru, hal ini menyebabkan banyaknya partai bisa mempersulit
terbentuknya pemerintah stabil.
Dari kelemahan-kelemahan kedua sistem tersebut dapat
menyebabkan persoalan yang terjadi selama masa pemilu yaitu praktek money
politic. Money politic adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan
imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik
dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai
unatuk mempengaruhi suara pemilih. Hal ini menuntut partai politik (parpol)
sebagai instrumen demokrasi harus menyelaraskan platform politiknya terhadap
perubahan yang terjadi di masyarakat.Tak sedikit, perubahan tersebut menjadi
tantangan bagi parpol.Sebut saja masalah golongan putih (golput) yang muncul
akibat ketidakpercayaan kelompok ini kepada parpol.Kini, di masyarakat juga
muncul kecenderungan menginginkan figur-figur baru sebagai pemimpin.Tentunya,
figur yang bisa membawa perubahan.
Misalkan pada sistem distrik, calon yang kalah akan
kehilangan suara pendukungnya. Kemudian pada sistem perwakilan proporsional,
karena banyaknya partai yang ingin mencalonkan diri, maka calon legeslatif atau
parpol akan berlomba-lomba untuk mendapatkan satu kursi baik di DPR, DPD
dan DPRD. Dengan kata lain, mereka bisa menggunakan money politic utuk memenangkan
kursi tersebut. Akibatnya yang muncul adalah perlombaan untuk mengumpulkan uang
dari berbagai sumber dan tidak mendorong pemberantasan korupsi yang dibutuhkan
masyarakat.Padahal sudah tertera dalam pasal 218 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang
larangan caleg yang melakukan money politik.Jika tindak pidana money politic
terbukti di pengadilan, maka caleg yang bersangkutan tidak dapat dilantik
sebagai anggota DPRD tingkat kabupaten, propinsi, pusat maupun DPD.
Dengan cara money politic hanya calon yang memiliki dana
besarlah yang dapat melakukan kampenye dan sosialisasi ke seluruh Indonesia.
Ini memperkecil kesempatan bagi kandidat perorangan yang memiliki dana
terbatas, walaupun memiliki integritas tinggi sehingga mereka tidak akan
dikenal masyarakat. Efek yang paling membahayakan dari kebiasaan money
politics dalam pemiluadalah keinginan untuk segera mengembalikan ”modal”
yang telah dikeluarkan selama proses Pemilu. Gaji yang diterima tiap bulan
pastilah tidak cukup untuk mengambalikan modal yang bisa mencapai puluhan
miliar rupiah itu.Jalan satu-satunya hanyalah korupsi.
Solusi
sistem pemilu di indonesia
Dari kelemahan-kelemahan tersebut harus ada solusinya, yang
mungkin dilakukan kedepan menerapkan sistem presidensial murni.Kemudian
pemetaan hubungan antara ekeskutif dengan legislatif harus jelas, dan sistem
partai yang sederhana.Serta membangun paradigma bahwa institusi parta politik
bukan hanya tempat mencari rezeki, tapi juga melakukan pengabdian kepada
masyarakat.
Salah satu hal terpenting dalam meningkatkan kualitas proses
politik adalah membenahi kapasitas pengorganisasian proses penyelenggaraan
pemilu. Termasuk ke dalamnya adalah memperkuat kewenangan lembaga pengawas
pemilu dalam melakukan kontrol terhadap berbagai potensi penyelewengan
penyelenggaraan proses pemilu.
Hal lain
adalah mendorong proses rekrutmen politik yang lebih rasional dan terbuka,
tidak hanya berdasarkan pertimbangan emosional melalui proses yang tidak
transparan. Untuk itulah mekanisme debat publik perlu didorong dan difasilitasi
secara lebih intensif, agar publik mengetahui kelayakan visi dan misi para
wakil dan para pemimpin politiknya, serta dapat menilainya secara kritis.
Publik perlu didorong untuk lebih mampu merumuskan standar dan parameter yang
jelas bagi penyaringan para pejabat politik yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, baik dari segi kemampuan, sikap dan karakter, etika politik, maupun
kejujurannya.Pola-pola penyaringan terhadap para anggota parlemen dan para
calon presiden yang sudah dilaksanakan oleh negara-negara demokrasi maju dapat
dijadikan acuan, untuk menguji integritas dan visi kepemimpinan dari para
calon.Demikian juga proses uji kelayakan terhadap para pejabat publik.Metode
uji kelayakan yang sudah berjalan selama ini di DPR, perlu diperluas
jangkauannya ke berbagai tingkat dan diperbaiki kualitasnya, serta dengan
keterbukaan yang lebih besar terhadap penilaian masyarakat umum.
Referensi
: